Nama : DINA DWI SANTIA
NPM : 23214134
Kelas : 4EB10
Membangun entitas korporasi dan
menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke
dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas
korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang
berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku
bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi hati nurani dalam
proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan
mempunyai hati, tidak hanya sekadar mencari untung belaka, tetapi juga peduli
terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan
(stakeholders).
Selain itu dalam mengembangkan struktur
etika korporasi, suatu perusahaan harus memiliki good corporate governance.
Latar belakang munculnya good corporate governance atau dikenal
dengan nama tata kelola perusahaan yang baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul
tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun
dilatarbelakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa
perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan
(korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relatif tidak jelas
menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan.
Kekuatan tersebut terkadang mampu
mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak
berdaya dalam menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku
bisnis yang berpengaruh tersebut. Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan
yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yang mana mengakibatkan terjadinya
krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di
Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya
beberapa perusahan besar dan ternama dunia, disamping juga menyebabkan krisis
global di beberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis
tersebut, pemerintah Amerika mengeluarkan Sarbanes Oxley Acttahun 2002
yang berisikan penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola
perusahaan dan perlindungan terhadap investor.
Oleh karena itu, undang-undang ini
menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara.
Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG
memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan
di dalam suatu organisasi yang mencakup (a) hak-hak para pemegang saham
(shareholders) dan perlindungannya, (b) peran para karyawan dan pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholders) lainnya, (c) pengungkapan (disclosure) yang
akurat dan tepat waktu, (d) transparansi terkait dengan struktur dan operasi
perusahaan, (e) tanggung jawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan
itu sendiri, kepada para pemegang saham dan pihak lain yang berkrpentingan.
Pada awalnya, istilah “Corporate
Governance” pertama kali dikenalkan oleh Cadbury Committee di Inggris
tahun 1922 yang menggunakan istilah dimaksud dalam laporannya yang dikenal
dengan Cadbury Report. Berikut disajikan beberapa definisi “Corporate
Governance” dari beberapa sumber, diantaranya:
·
Menurut Cadbury
Committee of United Kingdom
“A
set of rules that define the relationship between shareholders, managers,
creditors, the goverment, employees, and other internal and external
stakeholders in respect to their right and responsibilities, or the system by
which companies are directed and controlled”.
·
Menurut Forum
for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI
tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi definisi Cadbury
Committee of United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan,
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.
·
Menurut
Sukrisno Agoes
Tata
kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran dewan
komisaris, para direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata
kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan
atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
·
Menurut Organization
for Econimocs Cooperation and Development(OECD)
“The
structure through which shareholders, directors, managers, set of the board
objectives of the company, the means of attaining thoseobjectives and
monitoring performance”. (Suatu struktur yang terdiriatas para pemegang saham,
direktur, manager, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan
alat-alat yang akan digunakandalam mencapai tujuan dan memantau kinerja).
·
Menurut
Wahyudi Prakarsa
Mekanisme
adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan,
komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok kepentingan
(stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk
berbagai aturan (prosedur) dan sistem insentif sebagai kerangka kerja
(framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut, serta pemantauan atas kinerja yang dihasilkan.
Berdasarkan
beberapa definisi tersebut, pada intinya konsep GCG mengandung pengertian yang
berintikan 4 poin, yaitu:
1.
Wadah
Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)
2.
Model
Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip,
serta nilai-nilai yang meladasi praktik bisnis yang sehat
Tujuan:
·
Meningkatkan
kinerja organisasi.
·
Menciptakan
nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan.
·
Mencegah
dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan
organisasi.
·
Meningkatkan
upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan.
3.
Mekanisme
Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang, dan tanggung jawab:
·
Dalam
arti sempit: antar pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris dan direksi.
·
Dalam
arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan.
4.
Prinsip-prinsip
dasar yang melandasi konsep Good Corporate Governance merupakan gabungan
prinsip-prinsip dasar dalam membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama
agar tercapai rasa kebersamaan, keadilan, optimasi dan harmonisasi hubungan
sehingga dapat menuju kepada tingkat perkembangan yang penuh dalam suatu
organisasi atau badan usaha. Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal
sebagai berikut:
·
Vision
Pengembangan
suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada adanya visi dan
strategi yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari seluruh anggota
dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya semua
pihak akan merasa memiliki dan tanggung jawab dalam kemajuan organisasi atau
usahanya.
·
Participation
Dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan suatu organisasi atau badan
usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak terkait dan relevan melalui
sistem yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan penyampaian
pendapat.
·
Equality
Suatu badan
usaha atau organisasi yang baik selalu akan memberi dan menyediakan peluang
yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi peningkatan kesejahteraan
melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.
·
Professional
Dalam bahasa
sehari-hari professional diartikan “One who engaged ina learned
vocation” (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan). Dalam
konteks ini professional lebih dikaitkan dengan peningkatan kapasitas
kompetensi dan juga moral sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan mudah,
cepat dan akurat.
·
Supervision
Meningkatkan
usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usahaatau organisasi sehingga
tujuan bersama dapat dicapai secara optimal,efektif dan efisien, serta untuk
meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang mungkin timbul.
·
Effective
& Efficient
Effective berarti
“do the things right”, lebih berorientasi pada hasil,
sedangkan efficient berarti “do the right things”, lebih berorientasi
pada proses. Apapun yang direncanakan dan dijalankan oleh suatu organisasi atau
badan usaha harus bersifat efektif dan efisien.
·
Transparent
Dalam
konteks good governance, transparency lebih diartikan membangun
kepercayaan yang saling menguntungkan antara pemerintah atau pengelola dengan
masyarakat atau anggotanya melalui ketersediaan informasi yang mudah diakses,
lengkap dan up to date.
·
Accountability/Accountable
Dalam konteks
pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam meningkatkan
tanggung jawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam menjawab
kepentingan publik atau anggota.
·
Fairness
Dalam
konteks good governance maka fairness lebih diartikan sebagai aturan
hukum harus ditegakan secara adil dan tidak memihak bagi apapun, untuk siapapun
dan oleh pihak manapun.
·
Honest
Policy,
strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau badan usaha
harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidakjujuran pada akhirnya
akan selalu terbongkar dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan
sedang dibangun. Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan
long term partnership.
·
Responsibility
dan Social Responsibility
Institusi dan
proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak terkait harus dijalankan dalam
kerangka waktu yang jelas dan sistematis. Sebagai warga suatu organisasi, badan
usaha dan/atau masyarakat, semua pihak terkait mempunyai tanggung jawab
masing-masing dalam menjalankan tugasnya dan juga harus memberi
pertanggungjawaban kepada publik, sehingga di dalam suatu tatanan atau
komunitas dapat terjadi saling mempercayai, membantu, membangun dan mengingat
kanagar terjalin hubungan yang harmonis dan sinergis.
Sedangkan lebih sempit lagi, menurut
OECD, prinsip dasar GCG yang dikembangkan adalah (a) perlakuan yang setara
antar pemangku kepentingan (fairness), (b) transparansi, (c) akuntabilitas, dan
(d) responsibilitas.
Ekspektasi Baru
– Kerangka Baru
·
Stakeholder mengetahui
bahwa mereka bisa memiliki pengaruh yang signifikan pada pasar konsumsi
perusahaan, pasar modal, dan pada dukungan yang ditawarkan perusahaan oleh
kelompok stakeholder lain seperti pekerja dan kreditur.
·
Reputasi
korporasi bisa secara signifikan dipengaruhi oleh emosi stakeholder.
·
Komisaris
dan eksekutif melihat boikot, menurunkan pendapatan dan laba, juga menemukan
bahwa dukungan stakeholder penting untuk pencapaian optimal atas
tujuan jangka menengah dan panjang perusahaan.
·
Beberapa
komisaris dan eksekutif menginginkan dukungan dan dengan bantuan dari akademisi
dan lainnya, pedoman baru dan rerangka akuntabilitas dibangun, menyempurnakan
dengan peralatan dan teknik baru.
Akuntabilitas
untuk Shareholder atau Stakeholder?
·
Kapasitas
pertumbuhan dari stakeholder nonpemegang saham untuk mempengaruhi
pencapaian tujuan korporasi dan peningkatan sensitivitas mereka membuatnya
atraktif untuk korporasi untuk mendorong dukungan stakeholder.
·
Skandal
Enron, Arthur Andersen, dan Worlcom memperlihatkan bahwa aktivitas korporasi
membuat pola untuk menghadiahi eksekutif, komisaris dan beberapa pemegang saham
saat ini tidak secara penting pada kepentingan akan masa depan atau pemegang
saham saat ini yang diharapkan untuk kesuksesan jangka panjang seperti investor
penerima pensiun, pekerja dan pemberi pinjaman.
·
Eksekutif,
komisaris, dan investor yang terfokus pada jangka pendek membahayakan
kredibilitas seluruh tata kelola korporasi dan proses akuntabilitas.
·
Berdasarkan
pada kenyataan adanya tekanan stakeholder dan keinginan untuk
mendorong dukungan stakeholder, perusahaan menyadari bahwa mereka
bertanggungjawab pada stakeholder dan menatakelola diri mereka untuk
meminimalisasi risiko dan memaksimalisasi kesempatan tak terpisahkan dengan rerangka
akuntabilitas stakeholder.
Sumber
:
Brook, Leonard J. 2004. Business & Profesional Ethics for Directors,
Executives, & Accountans. South-Western College Publishing.
Duska,
Ronald F. dan B.S. Duska. 2005. Accounting Ethics. Blackwell Publishing.
http://zetzu.blogspot.co.id/2012/05/tata-kelola-etis-dan-akuntabilitas.html
0 komentar:
Posting Komentar